Bersantai di Ujung Sumatera


“Ngon, tanyoe tajak keuno santai bek tamita, cit troh keudroe! Gadoh saket ulee nyoe ka na ino.” Itulah sepenggal kalimat bahasa Aceh yang saya ingat dari ocehan seorang kawan lama. Dan saya baru mengerti setelahnya.

Butuh waktu kurang dari 90 menit untuk melakukan penyebrangan dari pelabuhan ulee lheu di Banda Aceh menuju pelabuhan Balohan Sabang. Matahari terik di pelabuhan dan hembusan angin laut memang jadi suasana tersendiri saat menunggu datangnya kapal penyebrangan KMP BRR yang hanya melakukan penyebrangan 2 kali sehari itu. Kapal itu adalah bantuan dari pemerintah pusat melalui BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) dengan berkecepatan maksimal 13 Knot itu terlihat lambat memasuki pelabuhan ulee lheu. Kedatangan kapal berjenis roro itu sudah ditunggu banyak penumpang yang sudah antri sejak sian tadi. Sore itu, pukul 16.00 wib kapal sudah mulai melakukan ‘loading dock’ bersamaan dengan masuknya para penumpang. Entah karena pengaruh arus balik dan suasana lebaran sehingga begitu banyak penumpang yang menuju dan dari Sabang berseliweran.

Antrian di Ulee Lheu

Tiket kelas Bisnis seharga 26.000/orang yang kami beli pun tidak sempat dicek oleh petugas. Saya tidak tahu pasti apakah jumlah muatan khususnya muatan orang sudah memenuhi standar atau tidak, yang jelas yang saya perhatikan banyak orang yang ‘nyelonong’ masuk tanpa tiket. Jumlah orang didalam kapal rasanya tidak sesuai dengan kapasitas yang saya tahu belakangan, yaitu Kapasitas tempat duduk KMP BRR mencapai 375 unit dan 24 unit mobil. Mungkin inilah gambaran jelas moda transportasi kita.

Selama hampir 90 menit di dalam kapal, yang saya perhatikan bermacam orang dengan beragam tujuan saling bercerita. Sebagian besar ingin berliburan, sementara yang lain ada yang bersilaturahmi atau sekedar ingin melihat kota Sabang. Kami adalah kelompok orang yang ingin menikmati indahnya Sabang saat musim liburan.

Sabang bukan daerah yang dingin meskipan daerahnya banyak gunung dan perbukitan. Angin laut yang bertiup dan udara pantai yang hangat membuat malam itu terasa gerah tapi santai. Setelah makan malam kami beristirahat untuk persiapan tenaga untuk perjalanan besok.

Sarapan Bu Leumak (sejenis nasi uduk-red) dan teh manis panas adalah persiapan tenaga kami untuk jalan-jalan. Tujuan pertama kami adalah Tugu Nol Kilometer. Tugu yang diresmikan Presiden BJ Habibie pada tahun 1997 ini terletak di daerah perbukitan desa Iboih, pemandangan lautan yang indah dan suasana hutan tropis yang masih asri menambah pesona pulau weh itu. Pulau Weh ini memang kecil dan garis pantai menyerupai huruf U, satu sisi dengan daerah perbukitan dan satu sisinya pemukiman kota Sabang. Selepas dari Tugu Nol Kilometer, kita mengarah turun menuju ke Pantai Iboih dan nyebrang ke Pulau kecil Rubiah. Untuk menuju ke pulau rubiah hanya cukup membayar 100.000 perperahu sudah termasuk antar jemput.

Iboih dan pulau Rubiah

Laut disekitar Pulau Rubiah adalah spot terindah untuk melakukan diving dan snorkeling. Terumbu karang dan ikan laut yang indah mudah ditemukan disini. Saya baru kali ini melakukan snorkeling, sungguh luar biasa indahnya. Pemandangan laut yang tak berombak, birunya laut dengan pasir putih sungguh bisa membuat penat hilang. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam saja dari kota Sabang kita sudah menikmati ini semua. Satu hal yang paling saya suka dari daerah wisata di Pulau weh, pantai dan hutannya masih sangat alami. Paling hanya sedikit perubahan berupa berdirinya beberapa cottage dan losmen di sekitar pantai, sisanya benar-benar masih apa adanya. Tapi menurut saya inilah nilai tambah pantai disini.

Dari pantai Iboih kita masih bisa bergerak turun menuju pantai Gapang. Tidak kalah indahnya, pantai Gapang tidak berkarang, jadi pantai ini lebih banyak digunakan untuk mandi dan bermain olahraga air. Pemandangan ke laut lepas dan kota sabang terlihat dari sini. Masih banyak pantai yang indah yang belum terjamah disini. Meski Tsunami juga sempat dirasakan pulau ini namun geliat pariwisatanya tidak turun drastis malah cenderung meningkat setiap tahun. Bukan cuma wisata pantai saja, wisata sejarah juga bisa ditemukan di sepanjang pantai bagian barat, daerah Anoe Itam. Deretan benteng pertahanan untuk melawan Belanda ada disana, Semua yang ditawarkan masih kurang didukung oleh fasilitas. Transportasi yang massih sulit dan sarana pendukung lainnya yang masih kurang membuat pesona wisata itu sedikit lambat pertumbuhannya.

…santai ala Sabang

Yang paling berkesan buat saya dan saya rasa tidak bakal ditemukan di kota lain adalah suasana kota Sabang. Saya merasa waktu bergerak sangat pelan, Tidak ada yang tergesa-gesa disini, tak ada hiruk pikuk, stress adalah hal yang tidak saya lihat disini. Semua orang larut dalam suasana santai dan slow. Dari seorang kawan lama saya pernah mendengar “Ngon, tanyoe tajak keuno santai bek tamita, cit troh keudroe! Gadoh saket ulee nyoe ka na ino.” (Teman, kita kesini tidak perlu mencari sasana santai, bakal datang sendiri! Hilang sakit kepala kalau sudah disini)

Pagi hari dimulai lebih lambat untuk beraktifitas, toko-toko dipasar buka selepas jam 10 pagi pada umumnya, dan siang hari sudah mulai tutup. Saat saya Tanya “Kenapa tutup, bukannya ini waktu paling tepat untuk berdagang?” Teman saya yang sudah menjadi warga Sabang menjawab santai, “Mereka pulang kerumah dan melakukan ritual tidur siang” Memang benar, tidur siang atau istirahat siang masih menjadi kebiasaan di Sabang. Semua terasa santai disini, kesibukan hanya saya lihat di pelabuhan saja, sisanya seperti yang saya gambarkan diatas. Tak ada kesibukan berarti disini, mungkin karena jumlah penduduk sabang yang tak sampai 24.000 jiwa pada tahun 2000. sehingga semua perlombaan dan persaingan seperti yang terjadi di kota besar tidak terlihat disini. Semua berjalan atas dasar keprcayaan dan rasa persaudaraan yang tinggi. Mungkin itu pula yang membuat kota ini dirindukan orang.

Dermaga Iboih

Tak cukup rasanya 2 hari disana, masih banyak tempat dan sisi lain pulau weh ini yang belum sempat saya sambangi. Sementara kami merencanakan untuk pulang ke Banda Aceh, kami haraus segera mengantar mobil kami ke pelabuhan karena penyebrangan hanya ada dua kali sehari dan jumlah antrian mobil wisatawan sudah membludak di Balohan. Jadilah sabtu sore itu kami habiskan nongkrong di warung kopi sambil melihat sunset di Pantai Kasih. Malam menjemput dan suara riuh ombak laut membuat saya malas untuk kembali ke Jakarta. Suasana santai seperti ini tida akan saya dapatkan di Jakarta, andai saja ada tempat seperti ini di dekat ibukota pasti saya akan sering kesana.

Pagi itu pegunungan di sekitar Balohan masih diselimuti kabut pagi. Kami menyempatkan mengisi perut sembari menunggu kapal. Dan seiring kapal KMP BRR berlayar, saya teringat lagu yang sering saya dengar  saat SD dulu.

“….
Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia….”
Dari Sabang Sampai Merauke – R. Suharjo

Pastinya lagu dan suasana ini akan membuat saya berencana untuk kembali kesana lain waktu. 🙂

Foto oleh : Reza ‘Cicak’
View more photos

5 thoughts on “Bersantai di Ujung Sumatera

  1. kambing bandot

    Sabang memang tiada duanya.sangat di sarankan membawa kamera tahan air jika ke Sabang. Sungguh sayang rasanya jika keindahan laut di Sabang tidak terekam. 😀

    Reply

Leave a comment